Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan
berkembang di Kabupaten Subang, kesenian ini mempunyai ciri khas atau
identitas sepasang patung sisingaan atau binatang yang menyerupai singa.
Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang,
yakni pada masa pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu
dikenal dengan Doble Bestuur, dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah
perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden). Pada saat
Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai
diperkenalkan dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota
kerajaan. Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang juga di bawah
kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan lambang negaranya yakni singa.
Sehingga secara administratif daerah Subang terbagi dalam dua bagian,
yakni secara politis dikuasai oleh Belanda dan secara ekonomi dikuasai
oleh Inggris.
Masyarakat Subang saat itu mendapatkan tekanan secara politis,
ekonomis, sosial, dan budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Namun
masyarakat tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan, perlawanan
tersebut tidak hanya berupa perlawanan fisik, namun juga perlawanan yang
diwujudkan dalam bentuk kesenian. Bentuk kesenian tersebut mengandung
silib (yakni pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan),
sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), siloka
(kiasan atau melambangkan), sasmita (contoh cerita yang mengandung arti
atau makna). Dengan demikian masyarakat Subang bisa mengekspresikan atau
mewujudkan perasaan mereka secara terselubung, melalui sindiran,
perumpamaan yang terjadi atau yang menjadi kenyataan pada saat itu.
Salah satu perwujudan atau bentuk ekspresi masyarakat Subang, dengan
menciptakan salah satu bentuk kesenian yang kemudian dikenal dengan nama
sisingaan.
Kesenian sisingaan merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan,
ketidaksenangan, atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada
pihak penjajah. Perwujudan dari rasa ketidaksenangan tersebut
digambarkan dalam bentuk sepasang sisingaan, yaitu melambangkan kaum
penjajah Belanda dan Inggris. Kedua Negara penjajah tersebut menindas
masyarakat Subang, yang dianggap bodoh dan dalam kondisi miskin,
sehingga para seniman berharap suatu saat nanti generasi muda harus bisa
bangkit, mengusir penjajah dari tanah air dan masyarakat bisa menikmati
kehidupan yang sejahtera.
Kesenian sisingaan secara garis besarnya terdiri dari 4 orang
pengusung sisingaan sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan,
waditra nayaga, dan sinden atau juru kawih. Secara filosofis 4 orang
pengusung sisingaan melambangkan masyarakat pribumi/terjajah/tertindas,
sepasang patung sisingaan melambangkan kedua penjajah yakni Belanda dan
Inggris, sedangkan penunggang sisingaan melambangkan generasi muda yang
nantinya harus mampu mengusir penjajah, nayaga melambangkan masyarakat
yang bergembira atau masyarakat yang berjuang dan memberi
motivasi/semangat kepada generasi muda untuk dapat mengalahkan serta
mengusir penjajah dari daerah mereka.
Kesenian sisingaan yang diciptakan oleh para seniman pada saat itu,
sangat tepat dan jitu menggunakan sisingaan sebagai
sarana/perwujudan/alat perjuangan, dalam melepaskan diri dari tekanan
kaum penjajah. Sementara itu pihak kaum penjajah tidak merasa disindir,
tidak terusik, akan tetapi malah merasa bangga melihat kesenian
sisingaan, karena lambang negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk
kesenian rakyat. Pihak penjajah hanya memahami bahwa kesenian sisingaan
merupakan karya seni hasil kreativitas masyarakat secara spontan,
sangat sederhana untuk sarana hiburan pada saat ada hajatan khitanan
anak. Padahal maksud masyarakat Subang tidaklah demikian, dengan
menggunakan lambang kebesaran Negara mereka, kemudian ada seorang anak
yang naik di atasnya dengan menjambak rambut sisingaan, merupakan salah
bentuk ekspresi kebencian kepada kaum penjajah.
Pada awal terbentuknya sisingaan tidak seperti sisingaan pada saat
sekarang ini, cikal bakal sisingaan sekarang yakni singa abrug. Disebut
dengan singa abrug karena patung singa ini dimainkan dengan cara
diusung, dan pengusungnya aktif menari, sedangkan singa abrug tersebut
digerakkan ke sana kemari seperti hendak diadu. Singa abrug untuk
pertama kalinya berkembang di daerah Tambakan, Kecamatan Jalancagak.
Pada zaman dahulu sisingaan atau singa abrug dibuat dengan sangat
sederhana, bagian muka atau kepala sisingaan terbuat dari kayu yang
ringan seperti kayu randu atau albasia, rambut terbuat dari bunga atau
daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan terbuat dari
carangka (keranjang atau anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan
karung kadut (karung goni) atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau
kayu gelondongan. Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa
dipikul oleh 4 orang. Proses pembuatan sisingaan biasanya dilakuakan
secara bersama-sama, secara gotong royong oleh masyarakat.
Waditra pada masa itu sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat
musik saja (seperti beberapa angklung pentatonis berlaras salendro),
namun kemudian berkembang seperti saat ini.
Adapun peralatan musik
tersebut antara lain:
- 2 buah angklung galimer
- 2 buah angklung indung
- 2 buah angklung pancer
- 2 buah angklung rael
- 2 buah angklung ambrug
- 1 buah angklung engklok
- 1 buah terompet
- 2 buah dogdog lonjor
- 1 buah bedug
- 3 buah terbang
Sementara itu lagu-lagu yang dinyanyikan pada masa itu antara lain
lagu badud samping butut, manuk hideung, sireum beureum, dan lain-lain.
Sedangkan untuk lagu pembuka biasanya menampilkan lagu tunggul kawung.
Apabila yang mempunyai adalah tokoh agama/ulama, maka lagu yang
disajikan biasanya lagu yang bernuansa Islami atau shalawat nabi.
Pengusung sisingaan biasanya dari warga masyarakat, karena pada saat
itu belum terbentuk kelompok atau grup kesenian sisingaan, diantara
mereka masih saling meminjam sisingaan. Gerakannya pun masih sangat
sederhana dan dilakukan secara spontan, namun tidak menghilangkan
gerakan yang mengandung makna heroik, atau gerak yang melambangkan
keberanian dalam menghadapi musuh. Gerakan yang ditampilkan saat
pertunjukan pada saat itu adalah tendangan, lompatan, mincid, dan dorong
sapi. Sedangkan busana atau pakaian yang dikenakan oleh pengusung
sisingaan pada saat itu hanya mengenakan kampret, pangsi, iket seperti
masyarakat umumnya. Sedangkan kalau yang hajatan dari masyarakat
golongan ekonomi menengah ke atas, busana yang dikenakan antara lain
baju takwa, sinjang lancar, iket. Kemudian pada sekitar tahun 1960 an,
busana pengusung sisingaan mulai mengalami perkembangan dan penyesuaian,
seperti perubahan warna yang mencolok dan bahan pakaian yang cukup
baik.
Busana-busana yang mengalami perkembangan dan bervariasi dapat
dilihat dari yang dikenakan oleh para penari yang ikut dalam meramaikan
pertunjukan, bahkan penonton yang tertarik dapat ikut menari di depan
sisingaan secara spontan. Baik yang yang ikut dari awal atau saat
sisingaan melewati tempat mereka atau kampong mereka. Sehingga kesenian
sisingaan bisa dikatakan sebagai kesenian tradisional, kesenian rakyat
yang bersifat terbuka, umum, dan spontan.
Pada bulan Juli tahun 1968 kesenian sisingaan mulai dimasukkan unsure
ketuk tilu dan silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan atau
kerjasama waditra yakni adanya tambahan dua buah gendang besar (gendang
indung), terompet, tiga buah ketuk, dan sebuah kulanter (gendang kecil),
bende (gong kecil), serta kecrek. Patung sisingaan pun mulai ada
perubahan yang cukup besar dan mendasar.
Untuk mengetahui perkembangan sisingaan ada beberapa bukti pergelaran
pada masa lalu antara lain, pada awal terbentuknya sisingaan sering
ditampilkan pada saat upacara peringatan hari ulang tahun P & T
Lands. Sehingga kesenian ini semakin dikenal luas, meskipun belum
terbentuk kelompok resmi kesenian sisingaan.
Pada masa setelah kemerdekaan, pada masa orde baru, seniman sisingaan
mulai mengangkat atau menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam
kesenian sisingaan, seiring dengan kreativitas seniman dalam menuangkan
inspirasinya. Kemudian mulai bermunculan kelompok-kelompok kesenian
sisingaan baru dengan kreasi-kreasi baru, namun demikian tetap masih ada
koreografer-koreografer tradisional yang masih mendasarkan pada naluri
atau tradisi dalam menggarap kesenian sisingaan.
Penyebutan sisingaan kadang-kadang berbeda di setiap daerah/wilayah,
hal ini disesuaikan dengan yang mereka lihat dan mereka dengar. Kawasan
Subang utara menyebut sisingaan dengan istilah pergosi atau Persatuan
Gotong Sisingaan. Kemudian daerah lain menyebut sisingaan dengan istilah
odong-odong, citot, kuda depok, kuda ungkleuk, kukudaan, kuda singa,
singa depok.
Atas prakarsa para seniman sisingaan maka pada tanggal 5 Januari
tahun 1988, diselenggarakan seminar kesenian sisingaan. Hasil seminar
tersebut memutuskan untuk pembakuan dan penyeragaman dalam penyebutan
sisingaan. Juga adanya keputusan bahwa sepasang sisingaan adalah
melambangkan dua penjajah, dan melambangkan kekuatan, kekuasaan,
kebodohan, serta kemiskinan.
Kesenian sisingaan mulai diperkenalkan ke tingkat nasional pada saat
penyambutan kedatangan Presiden Soeharto, pada saat hari Krida Tani
tahun 1968 di Balanakan. Semenjak saat itu sisingaan mulai ditetapkan,
difungsikan sebagai kesenian untuk menyambut tamu terhormat/tamu
kehormatan. Untuk mengangkat kesenian sisingaan Subang, para seniman
mengubah sisingaan dari bentuk helaran ke bentuk pergelaran arena.
Even lain yang semakin memunculkan sisingaan yakni saat tahun 1971
saat penyelenggaraan Jakarta Fair, kesenian ini dipentaskan di panggung
kesenian acara tersebut. Kemudian pada tahun 1972 dipentaskan di Istana
Bogor, pada tahun 1973 dipentaskan di Istana Negara, tahun 1981 menjadi
duta seni Indonesia di Hongkong dan menjadi juara pertama. Pada tahun
1991 sisingaan diminta oleh panitia terjun paying internasional untuk
mengadakan pergelaran di Jakarta. Kemudian pemerintah daerah secara
rutin menyelenggarakan festivial sisingaan setiap tahun, sehingga saat
ini kesenian sisingaan tidak hanya menjadi milik masyarakat Subang,
namun sudah menjadi milik nasional.
Fungsi Sisingaan
Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini juga mengalami perkembangan secara keseluruhan, baik dari bentuk patung sisingaan, waditra, busana, dan fungsi sisingaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa kesenian ini juga bersifat dinamis, mengikuti perkembangan zaman, dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Pada awal terbentuknya kesenian sisingaan terbatas hanya untuk sarana
hiburan pada saat anak dikhitan, dengan cara melakukan helaran keliling
kampung. Namun pada saat ini kesenian sisingaan mempunyai fungsi yang
beragam antara lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat, dengan
jalan naik di atas sisingaan. Fungsi lain yakni untuk menyambut atlit
yang berhasil memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara
eksklusif berdasarkan permintaan.
Pertunjukan atau Penyajian Sisingaan
Secara geografis Kabupaten terbagi menjadi tiga kondisi wilayah yakni wilayah pegunungan (tonggoh), wilayah dataran rendah (tengah), dan wilayah pantai (hilir). Secara mendasar letak geografis tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kesenian sisingaan. Hal ini dapat dilihat pada penampilan sisingaan dari tiga daerah tersebut, sisingaan dari daerah pegunungan (tonggoh) dan wilayah dataran (tengah) banyak memiliki kesamaan baik unsur tari, unsur waditra, maupun patung sisingaannya. Namun kalau memperhatikan sisingaan hilir, ketiga unsur tersebut sudah banyak mengalami perubahan. Hal tersebut karena adanya pengaruh masyarakat yang sudah majemuk, sehingga pola pikir masyarakat pesisir lebih terbuka dalam menerima masuknya kebudayaan luar.
Kesenian sisingaan merupakan bentuk ekspresi jiwa masyarakat yang
sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis alam, hasrat, dan emosi. Hal
tersebut berkaitan erat dengan unsur sisingaan yang terdiri dari unsur
tari (koreografi), unsur waditra (karawitan), dan sinden (juru kawih),
serta unsur seni rupa dan busana pengusung.
Unsur Tari
Pengusung sisingaan harus memiliki kekompakan, keseragaman gerak, dan keluwesan dalam menari untuk memberikan tampilan keindahan yang menarik. Unsur tari sisingaan terdiri dari tiga bagian yakni:
1. Naekeun, yakni gerak tari yang pertama kali
dilakukan untuk mengangkat anak yang dikhitan ke atas sisingaan. Gerak
tari naekeun terdiri dari beberapa gerakan antara lain, pasang yaitu
bersiap dan memasang kuda-kuda pada saat sisingaan berada di pundak.
Gobyog, yakni gerakan naik turun sisingaan kemudian berlari. Najong,
yaitu melakukan tendangan kaki dan meletakkan sisingaan. Silat tepak
tilu, yaitu melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan
mengunci.
Depok tungkul, yakni menaikkan anak yang dikhitan ke atas sisingaan.
Kidung yakni melagukan kidung yang diikuti dengan tarian, menendang, dan
memiringkan badan ke kanan dan ke kiri. Ewag, yakni menyanyikan lagu
kidung yang diikuti dengan gerak tarian. Mincid, yakni gerakan
memindahkan usungan sisingaan dari pundak sambil memutarkan kepala.
Solor, yakni melakukan gerakan maju mundur, yang diakhiri dengan gerakan
tendangan. Mincid badag, yakni gerakan atau tarian dengan diikuti suara
gendang yang lebih keras dan sambil melakukan tendangan.
2. Helaran, yaitu pergelaran/pagelaran yang
dilakukan dengan cara berkeliling, atau sesuai dengan rute jalan yang
telah ditentukan. Dalam kesenian sisingaan, helaran merupakan salah satu
unsur yang harus dilaksanakan, karena hal ini telah menjadi ketentuan.
Pada saat helaran para pengusung melakukan gerakan tari dengan menjaga
kekompakan, saling memperhatikan gerakan satu pengusung dengan pengusung
lainnya.
Gerak tari yang dilakukan dalam helaran antara lain: mincid yaitu
melakukan gerakan seperti berlari kecil dan diiringi dengan musik.
Mincid terbagi dua yakni mincid badag (mengangkat kaki lebih tinggi
dengan irama musik keras), mincid sedeng (gerakan kaki ringan dan irama
musik bertempo sedang). Najong, yakni gerakan menendangkan kaki ke
depan, ke samping sesuai dengan irama gendang. Gopar/bangkaret, yakni
gerakan menendang tapi ditarik kembali sebatas lutut. Meresan, yakni
berjalan kecil-kecil sesuai dengan irama musik. Mars/incek, yakni
berjalan kecil-kecil seiring irama yang cepat tapi halus.
Ewag, yakni gerak tari yang diikuti oleh lagu kangsreng. Gerak
jaipong, yakni gerakan yang divariasikan dengan tarian jaipong di awal.
Solor, yakni gerakan yang dilakukan dengan lari, lalu menghentakkan kaki
ke tanah (nenjrag). Mincid badag/mincid ngabrag, gerakan untuk lebih
mempercepat helaran dengan menghentakkan kaki ke tanah.
Najong, yakni menendangkan kaki ke depan dan ke samping, sesuai
dengan irama gendang. Silat tepak tilu, yakni melakukan gerakan silat
menangkis, menendang, memukul, dan mengunci. Kidung depok, yakni gerak
tari yang diakhiri dengan berlutut, dengan irama yang lambat.
Cisanggean, yakni gerakan penghubung antar atraksi. Ewag/ewag depok,
yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tari. Ewag
luhur, yakni menyanyikan lagu kangsreng yang diikuti dengan gerak tari
dan sisingaan diangkat. Mincid sedeng, yakni gerakan kaki ringan dan
irama musik bertempo sedang.
Mincid variasi, yakni gerakan memindahkan
sisingaan untuk berpindah pundak. Mincid solor, yakni gerakan yang
dilakukan setelah ewag dalam lagu kangsreng dan lagu polos.
Gondang, yakni gerakan mundur perlahan-lahan lalu menggebrak dan
menyerang sambil meloncat, kemudian telungkup.
Bukaan jaipong, yakni
memadukan tari jaipong dengan gerak tari sisingaan, sehingga terlihat
lebih variatif dan atraktif.
Geblag/gendut, yakni gerakan terakhir dari
mincid tari jaipong sebelum masuk ke atraksi. Atraksi, beberapa atraksi
yang sering ditampilkan dalam sisingaan antara lain oray-orayan,
gugunungan, melak cau, dan sebagainya.
Unsur Waditra (karawitan) dan Sinden (Juru Kawih)
Unsur waditra atau karawitan yang digunakan dalam sisingaan semakin berkembang, hal ini karena adanya pengaruh serta kreativitas seniman dalam memainkan alat musik. Waditra sangat berpengaruh dan menjadi unsur yang sangat penting pada saat helaran/pagelaran/pementasan, sehingga menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Pengembangan waditra tidak mengubah ciri khas dalam karawitan sisingaan, karena para seniman masih berpegang pada tradisi dan aturan-aturan (tetekon) sisingaan.
Waditra yang dipergunakan antara lain:
1. Satu buah gendang indung yang berfungsi untuk memberikan tekanan irama musik.
2. Satu buah gendang kemprang yang berfungsi untuk mengatur irama musik.
3. Dua buah kulanter yang berfungsi untuk mengatur tempo dan satu lagi dipukul diakhir kenongan.
4. Satu buah goong yang berfungsi untuk mengakhiri wiletan.
5. Satu buah kempul yang berfungsi untuk mengisi irama.
6. Tiga buah bonang atau ketuk yang berfungsi untuk mengisi ketukan.
7. Satu buah terompet yang berfungsi sebagai melodi dan mewakili lagu.
8. Satu buah kecrek berfungsi untuk mempertegas tekanan irama.
Dengan waditra atau karawitan tersebut, maka sisingaan bisa memainkan
musik penca dan jaipong. Sehingga kedua jenis musik tadi dijadikan
standar kesenian sisingaan. Juru kawih atau sinden merupakan penyanyi
yang membawakan lagu dalam sisingaan. Juru kawih biasanya seorang
perempuan yang memiliki suara merdu. Sedangkan lagu-lagu yang dibawakan
antara lain: kesenian sisingaan,awi ngarambat, kembang beureum, buah
kawung, arang-arang, siuh, senggot, sinur, tumbila diadu boksen,
kulu-kulu sadunya, gondang.
Unsur Seni Rupa dan Busana Pengusung
Unsur seni rupa yang terdapat pada sisingaan semakin hari semakin
berkembang, ke arah yang lebih baik, baik dari ukuran maupun bentuknya.
Misalnya dalam hal bentuk muka sisingaan, sudah semakin mirip dengan
bentuk singa asli, karena bagian muka tersebut dibalut atau ditempel
dengan bahan berbulu. Mimik muka juga dibikin semirip mungkin, dengan
mulut terbuka seperti singa hendak menerkam mangsa, dengan
memperlihatkan taringnya yang tajam. Pewarnaan menggunakan cat juga
semakin cemerlang dan menarik.
Sedangkan rambut sisingaan terbuat dari bahan yang mirip dengan bulu
singa, baik warna maupun jenis bahannya. Begitu juga dengan badan
sisingaan yang sudah menggunakan bahan yang ringan dan kuat serta
berbulu seperti singa. Posisi kaki juga sangat bervariasi ada yang
seperti berjalan, berdiri biasa, dan ada yang seperti mau menerjang.
Selain itu perubahan juga pada pakaian pengusung dan penabuh alat
karawitan. Pada masa lalu busana pemain sangat sederhana, dan tidak
seragam. sementara saat ini pakaian sudah diperhitungkan nilai
estetisnya, seperti pada baju kampret, celana pangsi, iket, ikat
pinggang, sepatu, kaos kaki.
Sumber : (BPSNT Bandung)
Diposkan oleh BUDIANA di 07.09 , Tanggal Pengambilan 2 November 2010.
================================================
KESIMPULAN
Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan
berkembang di Kabupaten Subang, kesenian ini mempunyai ciri khas atau
identitas sepasang patung sisingaan atau binatang yang menyerupai singa.
Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang,
yakni pada masa pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu
dikenal dengan Doble Bestuur, dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah
perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden). Pada saat
Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai
diperkenalkan dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota
kerajaan. Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang juga di bawah
kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan lambang negaranya yakni singa.
Sehingga secara administratif daerah Subang terbagi dalam dua bagian,
yakni secara politis dikuasai oleh Belanda dan secara ekonomi dikuasai
oleh Inggris.
Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini juga mengalami
perkembangan secara keseluruhan, baik dari bentuk patung sisingaan,
waditra, busana, dan fungsi sisingaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa
kesenian ini juga bersifat dinamis, mengikuti perkembangan zaman, dan
menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Pada awal terbentuknya kesenian sisingaan terbatas hanya untuk sarana
hiburan pada saat anak dikhitan, dengan cara keliling kampung. Namun
pada saat ini kesenian sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara
lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat, dengan jalan naik di atas
sisingaan. Fungsi lain yakni untuk menyambut atlit yang berhasil
memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara eksklusif
berdasarkan permintaan.
Tradisi SISINGAAN ini skrg biasa di pakai sebagai hajatan seorang
anak sehabis di khitan. Sebagai tanda kalau anak itu telah memasuki ke
tingkat Dewasa. Anak yang habis di khitan tersebut, biasanya menaiki
sisingaan tersebut. Kemudian sisingaan tersebut di angkat atau di gotong
oleh 4 orang dewasa. Lalu anak tersebut di gotong memakai sisingaan
tersebut mengelilingi kampung dengan di iringi musik-musik tradisional
khas sunda. Tradisi sisingaan ini masih ada di daerah Jawa Barat,
terutama di daerah Subang.
Adapun peralatan musik tersebut antara lain:
- 2 buah angklung galimer
- 2 buah angklung indung
- 2 buah angklung pancer
- 2 buah angklung rael
- 2 buah angklung ambrug
- 1 buah angklung engklok
- 1 buah terompet
- 2 buah dogdog lonjor
- 1 buah bedug
- 3 buah terbang
Di Ambil dari Berbagai Sumber